Semalam aku tidur lebih awal.
Kira kira pukul sebelas malam.
Niatku ingin bangun disepertiga pagi,
Menunaikan separuh tulisanku, kewajibanku,
menyelesaikannya sesegera mungkin dan sebaik mungkin.
Namun aku terjerat pada sebuah mimpi.
Entah di mimpi bagian sebelah mana, aku
masih ingat, jelas di depan mataku aku menunggu arak arakkan pawai kematian
melintas.
Sudah sering jika mimpi itu aneh, dan
sesuka mimpi itu, dan siapa yang mengaturnya?
Antara aku ikut menyiapkan arak arakan atau
aku menunggu di tepi jalan, melihat.
Lalu aku mengomentari pawai kematian itu,
“pawainya bagus, barang barang yang diarak
pun mewah, ada pot pot bunga yang di gantung”
Paginya, aku terbangun oleh ketukan pintu
ayah yang tak henti henti.
Aku tadi bermimpi,
Aku menuju kamar mandi, duduk lalu menyapa
kedua orangtuaku,
Ingin rasanya menceritakan mimpiku langsung
pada mereka,
Tapi sebelum itu aku kembali lagi
kekamarku,
Kubuka handphoneku,
Sembilan pesan satu panggilan.
Ku hubungi siapapun yang terlintas di
pikiranku,
“Benarkah itu kamu dek?”
Aku mendapat jawaban, jawaban yang tak
ingin kudapatkan.
Aku tak ingin menangis,
Aku tahu dia akan terbebani dengan
tangisanku atau tangisan siapapapun yang akan memperberat langkahnya.
Aku tak tahu persis dimana, Butuh waktu satu
jam hingga aku benar-benar mendapat arah rumahnya.
Pecah.
Apa dayaku, air mata itu mendesak, keluar
sendirinya
Terbujur, di dalam peti di depan mataku
“seperti putri tidur di dalam dongeng”
Hanya saja putri itu tak bisa bangun lagi,
meskipun ia di cium pangeran nya sekalipun.
Aku, mereka, kami semua masih belum percaya
kepergianmu itu.
Kamu pun masih bercanda denganku, dengan
kekhas’an bahasamu.
Keceriaan dan semangatmu itu dek,
Hari jumat lalu bahkan dengan semangatnya
kau sanggupi untuk meng-handle acara takbiran.
Kau siapkan hadiah-hadiah untuk anak anak
TPA, agar mereka bertambah semangat datang takbiran dan tak langsung pulang
Minggu, seminggu lalu pun kau masih sempat
mengajak mereka jalan jalan pagi,
Kau yang mengatur gamesnya,
Kau juga dengan setia mendampingi mereka,
mengesampingkan waktu liburmu
Sedangkan aku, aku tak sempat menikmatinya
bersama karena kewajibanku di tempat lainnya.
Hal hal yang juga makin menginggatkanku,
besok akan aku jawab apa ketika anak anak bertanya
“Dimana Mbak Ria?”
Dulu ketika kau masih ada, aku mungkin tak
kan sebingung ini,
Tapi sekarang apa aku harus tersenyum, atau
apa mungkin aku bisa menangis di depan mereka.
Kau dan pu memang lebih tenar di
banding aku dek,
Bahkan mungkin jika aku tak datang mereka
tak akan menanyakanku,
Tapi dirimu?
Ya, salah satu favoritnya.
Kau selalu punya cara tersendiri menghadapi
anak anak,
Tebak-tebakan, permainan permainan, ya
mereka selalu suka disisimu.
Tawa riuh mereka, maupun kesabaranmu.
Aku bahkan tidak bisa, aku kaku, aku
belajar darimu, kau salah satu ahlinya
Aku juga menganggumi mu sebagai salah satu sosok
yang kreatif dan produktif dek,
Menurutku kau luwes, kau bisa masuk dan
mengambil celah celah yang bisa kau manfaatkan.
Usahamu dalam hal untuk mewujudkan
kemandirianpun patut diacungi jempol.
Tiba tiba kau mendirikan ini, tiba tiba kau
membangun usaha itu, kau selalu bisa dek.
Bahkan kau berani untuk memulai, kau
memeloporinya.
Untuk sebuah kedekatan, mungkin aku masih
kalah dengan pu yang sudah sejak lama berkarib denganmu,
Tapi untuk ukuran kita bekerjasama disebuah
organisasi, itu bisa dikatakan dekat, bahkan di luar itu, kita lebih hanya dari
sekedar rekan organisasi,
Kita pernah berkumpul malam malam, hanya
untuk ngobrol ngalur ngidul,
Kau salah satu adikku dek.
Akan panjang jika kalimat kalimat ini terus
kujuntai untuk menceritakan hubungan yang singkat ini, mungkin sudah hampir dua
tahun lebih kau ku kenal, meski kedekatan ini mungkin baru dimulai sekitar
setahunan.
Tapi hubungan yang terjalin lebih dari
waktu yang ada.
Semua, pasti juga mengharap bahwa ini hanya
mimpi dek,
Dan besok ketika bangun kau masih di tengah
tengah kami,
Tapi sekian banyak pengantar yang sampai di
depan pusara terakhirmu tadi seolah menegaskan kau sudah tenang disana dek.
Pembelajaran ini, menamparku,
Kuanggap aku cukup menyianyiakan
kehadiranmu dek,
Kuhitung bahkan aku belum sempat
mentraktirmu,
Aku sedih sekali “aku belum sempat
mentraktirmu!”
Pernah, akan, tapi kau menolaknya,
Kau membayarnya terlebih dahulu.
Seperti kata kesatria yang selalu ku ingat
“Tidak ada apapun disini untukmu kecuali
kematian”
Akupun juga sama dek, manusia menunggu
gilirannya.
Ini mengingatkan kembali akan menghargai
waktu hidup, memanfaatkannya agar tak ada yang sia-sia, menghargai juga setiap
manusia yang ada disekitar kita.
Dan kembali ke ALLOH SWT,
Tak ada yang bisa benar-benar mengantarmu
dek, hanya amalmu dan usaha dengan doa doa kami yang akan menemanimu.
Seperti yang di dengung dengungkan tadi,
dan menginspirasi kami semua, solatmu, puasa senin kamismu, pengabdianmu,
usahamu, baktimu pada kedua orangtua.
Selamat jalan anak, kakak, adik.
Kebaikanmu,
17.42 –17. 56 jeda 18.30 – 19.33
(Farida Isfandiari, 28 Oktober 2012)
*Bahkan besok sampai besok besoknya lagi
masih dapat terkenang,
Lambang yang terbordir di seragam TPA itu
juga salah satu yang kau usahakan,
Ketika anak-anak memakainya. semoga mereka
juga teresapi semangatmu dek.
Berlarian dengan lincah, cantik kekanak
kanak-an, namun berpikir dewasa dan mandiri,
Dalam benak yang belum memercayainya, masih
berharap terbangun, dan kau bangun, mimpi.
Kami mencintaimu Nurvitria Evasari,
Departemen Pengembangan Umat HMI Komisariat FISIP UNS
No comments:
Post a Comment