expr:class='"loading" + data:blog.mobileClass'>

Sunday, October 28, 2012

"Dimana Mbak Ria?"


Semalam aku tidur lebih awal.
Kira kira pukul sebelas malam.
Niatku ingin bangun disepertiga pagi,
Menunaikan separuh tulisanku, kewajibanku, menyelesaikannya sesegera mungkin dan sebaik mungkin.
Namun aku terjerat pada sebuah mimpi.
Entah di mimpi bagian sebelah mana, aku masih ingat, jelas di depan mataku aku menunggu arak arakkan pawai kematian melintas.
Sudah sering jika mimpi itu aneh, dan sesuka mimpi itu, dan siapa yang mengaturnya?
Antara aku ikut menyiapkan arak arakan atau aku menunggu di tepi jalan, melihat.
Lalu aku mengomentari pawai kematian itu,
“pawainya bagus, barang barang yang diarak pun mewah, ada pot pot bunga yang di gantung”

Paginya, aku terbangun oleh ketukan pintu ayah yang tak henti henti.
Aku tadi bermimpi,
Aku menuju kamar mandi, duduk lalu menyapa kedua orangtuaku,
Ingin rasanya menceritakan mimpiku langsung pada mereka,
Tapi sebelum itu aku kembali lagi kekamarku,
Kubuka handphoneku,
Sembilan pesan satu panggilan.
Tanpa ekspresi.


 

Ku hubungi siapapun yang terlintas di pikiranku,
“Benarkah itu kamu dek?”
Aku mendapat jawaban, jawaban yang tak ingin kudapatkan.


Aku tak ingin menangis,
Aku tahu dia akan terbebani dengan tangisanku atau tangisan siapapapun yang akan memperberat langkahnya.
Aku tak tahu persis dimana, Butuh waktu satu jam hingga aku benar-benar mendapat arah rumahnya.

Pecah.
Apa dayaku, air mata itu mendesak, keluar sendirinya
Terbujur, di dalam peti di depan mataku
“seperti putri tidur di dalam dongeng”
Hanya saja putri itu tak bisa bangun lagi, meskipun ia di cium pangeran nya sekalipun.
Aku, mereka, kami semua masih belum percaya kepergianmu itu.

Masih ingat bertemu denganmu tiga hari lalu,
Kamu pun masih bercanda denganku, dengan kekhas’an bahasamu.
Keceriaan dan semangatmu itu dek,
Hari jumat lalu bahkan dengan semangatnya kau sanggupi untuk meng-handle acara takbiran.
Kau siapkan hadiah-hadiah untuk anak anak TPA, agar mereka bertambah semangat datang takbiran dan tak langsung pulang
Minggu, seminggu lalu pun kau masih sempat mengajak mereka jalan jalan pagi,
Kau yang mengatur gamesnya,
Kau juga dengan setia mendampingi mereka, mengesampingkan waktu liburmu
Sedangkan aku, aku tak sempat menikmatinya bersama karena kewajibanku di tempat lainnya.

Hal hal yang juga makin menginggatkanku, besok akan aku jawab apa ketika anak anak bertanya
“Dimana Mbak Ria?”
Dulu ketika kau masih ada, aku mungkin tak kan sebingung ini,
Tapi sekarang apa aku harus tersenyum, atau apa mungkin aku bisa menangis di depan mereka.
Kau dan pu memang lebih tenar di banding aku dek,
Bahkan mungkin jika aku tak datang mereka tak akan menanyakanku,
Tapi dirimu?
Ya, salah satu favoritnya.

Kau selalu punya cara tersendiri menghadapi anak anak,
Tebak-tebakan, permainan permainan, ya mereka selalu suka disisimu.
Tawa riuh mereka, maupun kesabaranmu.
Aku bahkan tidak bisa, aku kaku, aku belajar darimu, kau salah satu ahlinya

Aku juga menganggumi mu sebagai salah satu sosok yang kreatif dan produktif dek,
Menurutku kau luwes, kau bisa masuk dan mengambil celah celah yang bisa kau manfaatkan.
Usahamu dalam hal untuk mewujudkan kemandirianpun patut diacungi jempol.
Tiba tiba kau mendirikan ini, tiba tiba kau membangun usaha itu, kau selalu bisa dek.
Bahkan kau berani untuk memulai, kau memeloporinya.

Untuk sebuah kedekatan, mungkin aku masih kalah dengan pu yang sudah sejak lama berkarib denganmu,
Tapi untuk ukuran kita bekerjasama disebuah organisasi, itu bisa dikatakan dekat, bahkan di luar itu, kita lebih hanya dari sekedar rekan organisasi,
Kita pernah berkumpul malam malam, hanya untuk ngobrol ngalur ngidul,
Kau salah satu adikku dek.

Akan panjang jika kalimat kalimat ini terus kujuntai untuk menceritakan hubungan yang singkat ini, mungkin sudah hampir dua tahun lebih kau ku kenal, meski kedekatan ini mungkin baru dimulai sekitar setahunan.
Tapi hubungan yang terjalin lebih dari waktu yang ada.

Semua, pasti juga mengharap bahwa ini hanya mimpi dek,
Dan besok ketika bangun kau masih di tengah tengah kami,
Tapi sekian banyak pengantar yang sampai di depan pusara terakhirmu tadi seolah menegaskan kau sudah tenang disana dek.
Pembelajaran ini, menamparku,
Kuanggap aku cukup menyianyiakan kehadiranmu dek,
Kuhitung bahkan aku belum sempat mentraktirmu,
Aku sedih sekali “aku belum sempat mentraktirmu!”
Pernah, akan, tapi kau menolaknya,
Kau membayarnya terlebih dahulu.

 Seperti kata kesatria yang selalu ku ingat
“Tidak ada apapun disini untukmu kecuali kematian”
Akupun juga sama dek, manusia menunggu gilirannya.
Ini mengingatkan kembali akan menghargai waktu hidup, memanfaatkannya agar tak ada yang sia-sia, menghargai juga setiap manusia yang ada disekitar kita.
Dan kembali ke ALLOH SWT,

Tak ada yang bisa benar-benar mengantarmu dek, hanya amalmu dan usaha dengan doa doa kami yang akan menemanimu.
Seperti yang di dengung dengungkan tadi, dan menginspirasi kami semua, solatmu, puasa senin kamismu, pengabdianmu, usahamu, baktimu pada kedua orangtua.
Selamat jalan anak, kakak, adik.
Kebaikanmu,

17.42 –17. 56      jeda      18.30 – 19.33
(Farida Isfandiari, 28 Oktober 2012)

*Bahkan besok sampai besok besoknya lagi masih dapat terkenang,
Lambang yang terbordir di seragam TPA itu juga salah satu yang kau usahakan,
Ketika anak-anak memakainya. semoga mereka juga teresapi semangatmu dek.
Berlarian dengan lincah, cantik kekanak kanak-an, namun berpikir dewasa dan mandiri,
Dalam benak yang belum memercayainya, masih berharap terbangun, dan kau bangun, mimpi.
Kami mencintaimu Nurvitria Evasari, Departemen Pengembangan Umat HMI Komisariat FISIP UNS


No comments:

Post a Comment